Lelaki bertubuh tegap itu tampak
lesuh, menunduk sesaat. Merenungkan nasib sekolah yang ia pimpin saat ini
(2016). “Dulu, sebelum dibangun apartemen Kebagusan City, sekolah gak pernah
kebanjiran.” Ujar Lelaki yang kini menjabat sebagai
kepala sekolah SDN Kebagusan 03 saat saya wawancara di kantornya. Yah, dulu
walaupun hujan turun sangat lebat, sekolah SDN Kebagusan 03 tidak pernah
terendam lama oleh genangan air hujan. Air yang jatuh dari langit akan berlalu
begitu saja tanpa sudi menenggelamkan sekolah dasar itu.
“Kalau banjir, anak-anak diliburkan
pak?” tanya saya lagi, memastikan bahwa dampak banjir yang ditimbulkan oleh
pembangunan Jakarta seharusnya menguntungkan semua dan tidak berdampak buruk apalagi
merugikan orang lain.
“Alhamdulillah kegiatan ajar
mengajar masih bisa terlaksana dengan baik. Karna biasanya banjirnya gak
seharian, paling hanya beberapa jam. Airnya langsung surut lagi.” Syukur, masih
bisa bersyukur walau kemungkinan hujan lebat esok mengguyur.
Hujan dan banjir tentu mampu menyulap
air yang terjaga didalam tanah menjadi berubah warna dan bau, yang semula
jernih menjadi tak sedap rupa, yang semula segar menjadi busuk. Lapisan semen
yang mengeras disekitar sumur hanya menahan air banjir masuk dari atas, ia lupa
bahwa air bisa meresap melalui pori tanah disampingnya.
Pagi telah usai dengan lembar tanya
yang sudah penuh jawaban. Tapi ini belum selesai, masih ada survei lapangan
yang harus dilaksanakan. Melakukan pengecekan langsung terhadap kualitas air di
sekolah.
Saya membuka salah satu keran yang
terdapat di salah satu wastafel tepat didepan kantor kepala
sekolah. Dengan lembut, saya memutar keran berwarna hijau yang masih terlihat
baru. Air mengalir kecil, padahal keran sudah dibuka full. Secara kasat mata,
kondisi air terlihat jernih dan tak berbau saat dicium.
Sekolah SDN Kebagusan 03 masih bisa
dikatakan beruntung, bisa menikmati air bersih layak pakai dari tanah Jakarta.
Karna nyatanya, 96% air baku yang dijadikan air bersih berasal dari waduk
Jatiluhur dan Tanggerang. Air baku yang berasal dari Jakarta
hanya memenuhi 4% kebutuhan air bersih penduduk Jakarta.
Lantas kenapa Jakarta tidak mampu
memasok air bakunya sendiri? Padahal di Jakarta yang gemerlap ini, ada 19
sungai dan kanal yang airnya melimpah ruah. Tapi sayang, dari ke 19 sungai dan
kanal itu, hanya ada 3 sungai yang memenuhi prasyarat untuk menjadi air baku
(Krukut, Mookervart dan Kalibaru Barat). Lalu bagaimana dengan yang lainnya?
16 sungai dan kanal lainnya, tak memenuhi mutu baku air baku. Tentu karna tercemar limbah. Yah… pasti gara2 limbah pabrik dan industri.
Gara-gara mereka membuang limbah sembarangan, sungai jadi tercemar, kualitas air sungai Jakarta jadi tak layak dijadikan air baku.
Sudah
dapat dipastikan, banyak orang pasti berfikir demikian, menyalahkan orang lain
adalah hal yang paling mudah bukan?! Padahal, pelaku utamanya adalah kita
sendiri. Yups! Kita sendiri.
“Pernah berfikir kemana perginya air
bekas yang kita pakai untuk mandi?” pertanyaan Dirut PD PAL JAYA, Dr. Subekti itu
membekas dikepala saya. Sudah pasti, air bekas yang kita pakai akan mengalir ke
selokan terdekat dan bermuara di sungai.
Pada tahun 1989, Dinas Pekerja Umum
beserta tim JICA membuktikan melalui penelitiaanya bahwa 75% pencemaran air
berasal dari limbah rumah tangga dengan beban polutan organik sekitar 70%.
Angka yang jauh lebih besar daripada limbah yang dihasilkan oleh perkantoran
dan industri.
Kini 2016, Jakarta semakin rama dengan kemegahan dan
kekumuhannya. Dengan gemerlap dan kekurangannya. Dengan segala yang instan
tanpa mau tau apa dampaknya. Bagi kebayakaan orang, membeli air itu “wajar” membuang
limbahnya adalah “GRATIS!”
Profil Singkat
Nama : Ai Zakiyah
Tempat tinggal
:
Bojonggede-Bogor
Pekerjaan : Fasilitator Program
SAS
No Phone : 0822 1330 9693
0 komentar:
Post a Comment